Pelatihan

Bio Energi Sejati

Ekspedisi

Recent Posts

Pendaftaran Pelatihan Ilmu Tembus Pandang

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Selamat datang di website resmi Komunitas Tembus Pandang Indramayu, kami merupakan sebuah Komunitas yang didirikan oleh beberapa spiritual dan supranaturalis yang berada di wilayah Indramayu dan sekitarnya.

Tujuan utama Belajar Ilmu  Tembus pandang ini adalah bertujuan untuk menjalin tali silaturahmi dan persaudaraan melalui dunia metafisika serta meningkatkan kualitas ibadah dan keimanan kepada Allah SWT.

Salah satu pelatihan yang diselenggarakan oleh Komunitas Tembus Pandang adalah Pelatihan Ilmu Tembus Pandang Tanpa Puasa, dimana tujuan utama dalam Pelatihan ini adalah untuk membangkitkan POTENSI DIRI / INDERA KEENAM pada diri seseorang.

Sedangkan manfaat setelah mengikuti Pelatihan Pembangkitan adalah :
a.       Untuk melakukan TERAWANGAN JARAK JAUH
b.      Untuk MENDETEKSI MAKHLUK GHAIB
c.       Untuk melakukan TERAPI PENGOBATAN MEDIS dan NON MEDIS
d.      Untuk mendapatkan KETENANGAN HATI
e.      PERLINDUNGAN / KESELAMATAN
f.        Untuk MENUNDUKAN ORANG
g.       Untuk MENAIKAN KARIR / JABATAN
h.      Membuat PAGARAN GHAIB
i.        DLL.

TATA CARA MENGIKUTI PELATIHAN PEMBANGKITAN ENERGI SEJATI
Tata Cara dan Syarat mengikuti Pelatihan Pembangkitan Energi Sejati :

a.       Sudah aqil baligh
b.      Sehat jasmani dan rohani
c.       Mahar pelatihan pembangkitan
d.      Mengirim bio data

Selanjutnya,  setelah melakukan pembayaran Mahar Pelatihan Pembangkitan, langsung melakukan konfirmasi dengan cara ketik :

MAHAR – ENERGI SEJATI – NAMA BANK – JUMLAH MAHAR – NAMA PENGIRIM
Di kirim ke No : 081947270111

MAHAR PEMBANGKITAN DALAM NEGERI  :  Rp. 650.000,-
MAHAR PEMBANGKITAN LUAR NEGERI      :  Rp. 850.000,-

MAHAR DI KIRIM KE :
BRI Kantor Cabang Pamanukan No Rek. 0355.01.006803.532 an. Sukardi.ST
Bank Mandiri Kantor Cabang Pembantu Pamanukan No Rek. 173.00.0092848.2 an. Sukardi. ST

Pusat Informasi
HP. 081947270111 – 081221521705 (Whatsapp)


Catatan :
- Untuk proses pembangkitan energi sejati akan dilakukan malam hari antara jam  21.00 , 22.00 ,   23.00 Wib.
- Proses pembangkitan akan langsung di tangani oleh Mas Adi Putra
 .

Kesaksian Peserta Pembangkitan Energi Sejati, TAUHID ( Pamalang – Jawa Tengah ), No HP. 08328064526


TEMBUSPANDANG – Sebagai orang yang sering hidup diperantauan, dalam batin yang paling dalam aku selalu mencari berita tentang pembelajaran ilmu ghaib atau ilmu batin. Dan pada suatu ketika aku dapati sebuah situs dari Komunitas Tembus Pandang.

Setelah aku buka dan baca-baca situs Komunitas Tembus Pandang, entah mengapa hati ini merasa sangat tertarik untuk mendalami keilmuan yang ada di Komunitas Tembus Pandang, karena metodenya begitu simpel dan tidak menggunakan teknik nyeleneh dan macam-macam.

Hingga akhirnya dengan tekad hati yang bulat aku sambangi Basecamp Komunitas Tembus Pandang yang ada diwilayah Kabupaten Indramayu untuk bersilaturahmi sekaligus untuk menimba keilmuan yang ada di Komunitas Tembus Pandang.

Berikut ini merupakan pengalaman serta kesaksianku setelah mengikuti proses Pembangkitan Energi Sejati yang dibimbing oleh Master Adi Putra. Pada saat setelah pengaktifan Bio Energi Sejati, ketika sedang melakukan pemadatan energi, aku dapat melihat bola cahaya energi berwarna biru terang.

Kemudian pengalaman pada saat sedang Meditasi Ketenangan, dalam pandangan mata batin, aku seperti berada disebuah pegunungan hijau, kemudian aku seperti mengitari Hutan lebat dan lautan biru yang luas. Dalam Meditasi, aku juga melihat sosok makhluk ghaib berkepala pelontos dan kurus.

Pengalaman saat praktek Ilmu Terawangan di Basecamp, ketika itu aku disuruh untuk menerawang keberadaan makhluk ghaib disebuah kebun kosong. Ketika aku lihat ada sosok Kuntilanak yang sedang berdiri. Ketika aku tanya ia seperti marah-marah, namun ketika aku tunjuk dengan jari berkekuatan laser, ia malah menjadi tertunduk mukanya seperti ketakutan.

Lalu aku menerawang sebuah bangunan tua, ketika aku mulai fokus untuk menerawang dengan menggunakan Mata Batin, terlihat didalam bangunan tua seekor siluman kera yang kondisi bajunya seperti sobek-sobek.

Kemudian aku beralih untuk menerawang rumahku sendiri yang ada di Kota Pamalang, Jawa Tengah. Ketika aku sedang menelusuri dari ruangan yang satu ke ruangan yang lainya, tiba-tiba aku dapati diruang kamar belakang ada sosok nenek-nenek wajahnya hitam dan rambutnya panjang kebawah.

Dan yang terkhir adalah ketika aku mendeteksi makhluk ghaib yang ada di pemakaman umum angker, aku jumpai ditempat tersebut sosok gendoruwo yang matanya merah nyala dan bertaring panjang serta tubuhnya dipenuhi dengan bulu hitam yang lebat.

Dan yang membuatku aneh adalah, aku juga bisa menerawang istriku dialam nyata, ketika aku mencoba untuk menerawang jarak jauh tentang keberadaan istriku, ternyata istriku sedang tidur dan memakai baju warna merah, dan esoknya setelah aku tanya ternyata benar.

Demikianlah sekelumit tentang pengalaman serta kesaksian diriku setelah mengikuti Pelatihan Pembangkitan Energi Sejati di Komunitas Tembus Pandang. Semoga keilmuan ini bisa bermanfaat untuk membantu umat.

Dan bagi yang mau bertanya-tanya tentang Komunitas Tembus Pandang serta yang ingin berbagi pengalaman tentang dunia ghaib, bisa menghubungi aku dengan no diatas. Semoga dengan Metafisika terjalin tali persaudaraan dan silaturahmi.

Untuk Infromasi dan Pendaftaran Pelatihan Pembangkitan Energi Sejati, Klik PENDAFTARAN

Kesaksian Peserta Pembangkitan Energi Sejati, DEDI ( Sumatera Selatan ), No HP. 085378361163


TEMBUSPANDANG – Rasa penasaranku akan dunia ghaib, telah medorongku untuk mencari sebuah tempat atau Padepokan yang betul-betul bisa mengajarkan untuk membuka Indera Keenam yang ada dalam diriku.

Dan entah kebetulan atau tidak, ketika sedang asyik berselancar didunia maya, aku dapati sebuah situs yang mengajarkan tentang pembangkitan mata batin atau indera keenam, dan tanpa pikir panjang aku langsung saja mendaftar dan bergabung ikut pembangkitan secara Jarak Jauh.

Pertamakali dibangkitkan oleh Master Adi Putra, yang aku rasakan langsung ketika sedang Meditasi Dzikir adalah dalam pandangan mata batinku, aku melihat sebuah cahaya berwarna hijau yang terangnya berpendar-pendar.

Lalu selanjutnya yang aku rasakan adalah seperti melihat sebuah lorong cahaya yang sangat panjang sekali, namun pada saat itu aku tidak berani untuk masuk kedalamnya karena terus terang saja masih ada rasa takut dalam batinku.

Pengalaman lainya ketika latihan Meditasi Dzikir adalah, aku seperti ditemui oleh sosok Pahlawan yang berasal dari tanah Sumatera. Dan yang membuatku kaget adalah tiba-tiba muncul sosok Master Adi Putra yang sedang duduk bersila, seperti khusyuk bermeditasi.

Selanjutnya, ketika aku mempraktekan kamampuan Terawangan, ketika itu aku disuruh untuk melihat dengan Mata Batin, sebuah telapak tangan dari Master Adi Putra. Ketika aku niatkan, yang aku lihat dari telapak tangan beliau keluar kabut asap berwarna hijau.

Kemudian aku mencoba untuk menerawang sebuah tempat sekolah tempatku mengajar, ketika aku niatkan melihat dengan Mata Batin sebuah ruangan kelas, diruangan tersebut nampak ada sosok yang sedang berdiri.

Dilanjutkan ketempat lainya, aku menerawang sebuah Pohon besar yang dikenal cukup angker. Ketika aku lihat dengan kekuatan daya batin, dipohon besar tersebut nampak dengan jelas ada sosok wanita berambut panjang.

Ketika aku perhatikan dengan seksama, ternyata wajah dari sosok wanita tersebut sungguh lumayan teramat cantik. Kecantikanya mengalahkan para bintang sinetron yang ada di Indonesia, namun anehnya ketika aku ajak berkomunikasi, sosok tersebut malah kabur pergi.

Kemudian pengalaman lainya adalah aku mencoba untuk menerawang sosok Khodam Pendamping dari salah seorang temanku. Ketika aku niatkan melihat khodamnya, tiba-tiba wajah dari temanku itu berubah menjadi Harimau tapi tubuhnya tetap dalam bnetuk manusia.

Subhanallah...itulah barangkali sekelumit tentang pengalaman serta kesaksian diriku setelah mengikuti program Pembangkitan Energi Sejati di Komunitas Tembus Pandang. Semoga keilmuan yang aku pelajari ini bisa bermanfaat dunia akherat.

Bagi anda yang tertarik untuk membangkitkan Potensi Diri serta Indera Keenam yang ada dalam tubuh sendiri, silahkan Klik PENDAFTARAN

Kisah Syekh Magelung Sakti dan Nyi Mas Gandasari

Syekh Magelung sakti dalam cerita dan tradisi Cirebon disebutkan sebagai seorang laki-laki Mesir yang gondrong sejak lahir, sumber lain ada yang menyatakan dari negri Syam. Beliau dikisahkan berkelana dari satu tempat ke tempat yang lain demi untuk mencari seseorang yang mampu memotong rambut gondrongnya, ia sendiri dan bahkan guru-gurunya tidak mampu memotong rambut panjangnya.

Kasus Syekh Magelung sakti ini mirip dengan kasus bocah gimbal di lereng gunung Dieng, dimana rambut bocah gimbal tersebut tidak boleh sembarangan memotongnya, sebab jika dipotong dengan tanpa perhitungan yang matang bisa menyebabkan sakit atau bahkan bisa menyebaban kegimbalan rambut bocah yang bersangkutan semakin menjadi-jadi.

Tidak ada kejelasan mengenai siapa nama asli dari Syekh Magelung Sakti, nama Syekh Magelung sakti sendiri sebenarnya merupakan julukan yang mempunyai maksud adalah seorang Syekh (kiai) yang memiliki rambut panjang yang digelung. Dan karena rambut panjangnya tersebut kebal atau tidak mempan dicukur maka untuk kemudian dikatakan sakti.

Kelainan yang di alami oleh Syekh Magelung Sakti ini pada nyatanya membuat beliau tak nyaman, dari rasa ketidak nyamananya itu beliau kemudian meninggalkan negeri Mesir untuk berkelana mencari seseorang yang sanggup memotong rambutnya. Namun, setiap negeri yang ia datangi belum ada satu orangpun yang sanggup dan bisa memotong rambut panjangnya.

Kisah pengembaraan Syekh Magelung Sakti ini kemudian terhenti di daerah yang bernama Cirebon, sebab ketika beliau menginjakan kaki di Cirebon ternyata Sunan Gunung Jati mampu memotong rambut Gondrongnya, beliaupun kemudian berguru kepada Sunan Gunung Jati.

Setelah menjadi murid Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung Sakti dikisahkan banyak membantu kemajuan Kesultanan Cirebon. beliau kemudian diangkat oleh Sultan Cirebon menjadi penguasa di Desa Karang Kendal sebagai hadiah dari jasa-jasanya, dan setelah menjabat sebagai penguasa Karang Kendal, beliau juga kemudian dikenal dengan nama Pangeran Karang Kendal.

Ada kisah menarik seputar kedatangan Syekh Magelung Sakti. Beliau mendarat di Cirebon, ketika Nyimas Ganda Sari sedang melakukan Sayambara untuk mencari Suami.
Nyimas Gandasari dalam sejarah Cirebon dikenal sebagai murid sunan Gunung Jati yang rupawan, selain rupawan beliau juga dikisahkan mewarisi Ilmu Agama dan kedigjayaan dari gurunya, akan tetapi beliau selama hidupnya memilih menjadi prawan sunti, pernah memang suatu ketika Nyimas Gandasari mengadakan sayambara dalam bentuk duel adu kesaktian untuk mencarai Suami, tapi tak ada satupun yang mampu menandinginya.

Dalam Sayambara itu Nyimas Gandasari menantang para pembesar di wilayah Kesultanan Cirebon untuk bertarung dengannya. Bagi yang mampu mengalahkannya maka imbalannya dijadikan suaminya.

Dalam Sayambara ini dikisahkan tidak ada satupun para pembesar Cirebon yang mampu mengalahkannya. Syekh Magelung sakti yang pada waktu itu kebetulan sedang menyaksikan Sayambara itu kemudian beliau ikut terjun kemedan laga, beliaupun dikisahkan mampu mengalahkan Nyimas Gandasari.

Kesaktian Nyimas Gandasari sebenarnya bukan tanpa tanding, terbukti dari dikalahkannya Nyimas Gandasari oleh seorang pemuda Gondrong dari Mesir, namun pemuda gondrong tersebut rupanya bukan tipe pria idamannya.

Karena merasa Syekh Magelung Sakti sebagai tamu yang tak diundang, Nyimas Gandasari menolak untuk dinikahi Syekh Magelung Sakti, meskipun ia mampu mengalahkannya.

Dalam masa-masa kisruh inilah kemudian Sunan Gunung Jati yang tak lain merupakan Guru dari Nyimas Gandasari datang untuk menengah-nengahi.

Menurut legenda yang berkembang, Ganda Sari itu sebenarnya bukan nama sebenarnya namun merupakan julukan, karena memang beliau ini dikisahkan sebagai seorang wanita yang bersih, dan suka sekali menggunakan wawangian, sehingga harum tubuhnya itu semerbak berlipat-lipat, sebab memang dalam Bahasa Cirebon kata Ganda bermasud berlipat, sementara Sari bermaksud mewangi.

Selain dikenal dengan nama Gandasari, beliau juga dikenal dengan nama Nyimas Panguragan, Panguragan sendiri merupakan nama Desa/padukuhan dimana beliau tinggal. Panguran juga merupakan wilayah kekuasaannya yang dihadiahkan oleh Sultan Cirebon atas jasa-jasanya. Sementara dalam sejarah Indramayu Nyimas gandasari dipercayai juga sebagai Nyi Endang Darma, Salah satu pendiri Indramayu.

Nyimas Gandasari selama hidupnya pernah menjadi Panglima Perang Kerajaan Cirebon, ia merupakan satu-satunya panglima perang wanita dalam sejarah berdirinya Kerajaan Cirebon, jasanya yang paling menonjol bagi kedigjayaan Cirebon adalah keberhasilanya membobol benteng pertahanan Kerajaan Sunda Galuh. Sehingga berkat jasanya itu Cirebon kemudian dapat menaklukan Galuh.

Kuat dugaan, Nyimas Gandari dihadiahi wilayah kekuasaan yang sekarang dikenal dengan nama desa Panguragan itu setelah keberhasilannya dalam perang menaklukan kerajaan Galuh.

Nyimas Gandasari juga dikisahkan tidak memiliki suami, oleh karena itu hingga sekarang beliau tidak mempunyai keturunan atau pewaris. Begitulah memang pilihan hidup Nyimas Gandasari lebih nyaman menjadi seorang Prawan Sunti, meski beliau dianugerahi wajah nan rupawan.

Sampai saat ini, makam atau kuburan Nyimas Gandasari dapat ditemui di desa Panguragan Kabupaten Cirebon. Makamnya selalu ramai dikunjungi oleh para peziarah dari berbagai daerah di wilayah Cirebon.

Dari pertemuan pertama antara Syeh Magelung Sakti dan Sunan Gunung Jati inilah kemudian peristiwa pemotongan rambut Syekh Magelung sakti itu dilakukan. Syeh Magelung kagum akan kesaktian Sunan Gunung Jati dan akhirnya memohon untuk diterima menjadi muridnya.

Syekh Magelung Sakti dalam sejarah Cirebon dikenal sebagai salah satu Panglima Perang Kesultanan Cirebon awal, ada berbagai versi mengenai asal-usul tokoh ini, ada yang menyatakan dari negeri Syam, ada juga yang menyatakannya berasal dari negeri Mesir.

Selepas Syekh Magelung berjasa ikut membantu menyebarkan Islam di tanah Pasundan dan juga ikut dalam berbagai pertempuran menghadapi kerajaan Pajajaran, Syekh Magelung sakti dianugerai wilayah kekuasaan di Desa Karangkendal, oleh karena itu selain dikenal dengan nama Syekh Magelung Sakti, tokoh ini juga dikenal dengan nama Pangeran Karangkendal.

Selepas beberapa lama memerintah Karangkendal dan memasuki usia senja, Syekh magelung Sakti dikabarkan wafat. Dalam naskah Mertasinga, kewafatan Syekh Magelung Sakti didahului oleh kisah absenya Syekh Magelung sakti dari pertemuan-pertemuan yang dilangsungkan di Gunung Jati.

Syekh Magelung sakti dikisahkan dalam beberapa kali tidak mengikuti rapat-rapat pemerintahan yang dilaksanakan di Gunung Jati, oleh karena itu Sunan Gunung Jati merasa kehilangan. Sunan Gunung Jati kemudian menanyakan kabar Syekh Magelung kepada para pejabat pemerintahan lain, namun tak ada seorangpun yang mengetahuinya.

Mendapati keadaan itu, akhirnya Sunan Gunung Jati mengutus para pejabat pemerintahan untuk mencari kabar tentang keberadaan Syekh Magelung, setelah dilakukan penyelidikan, akhirnya salah seorang pejabat yang diperintah itu melaporkan bahwa “ Di daerah Karang Kendal Telah Memancar Sinar, dibawahnya terhampar tikar, akan tetapi di atas tikar tersebut tidak ada orang yang mendudukinya, melainkan dihinggapi sekelompok burung alap-alap”.

Kabar tersebut bermakna, Syekh Magelung sakti dalam keadaan sakit dan kemudian meninggal, mendengar kabar itu Sunan Gunung Jati kemudian memerintahkan para pejabat pemerintahannya untuk mengurus jasad Syekh Magelung Sakti dengan upacara kebesaran Kerajaan sebagaimana umumnya pada waktu itu.

Syekh Magelung Sakti wafat di Karang Kendal dan dimakamkan disana, makamnya hingga kini dapat dijumpai di Karang Kendal, Sebuah desa yang kini masuk pada wilayah Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon.

Kini makam Syekh Magelung Sakti sampai sekarang masih dapat dilihat, komplek pemakamannya dikelilingi oleh tembok merah yang merupakan bangunan khas pemakaman tokoh-tokoh Kesultanan Cirebon.

Pangeran Cakrabuana dan Raden Kian Santang

Sejarah Cirebon nyaris tak menyinggung dan mengisahkan Kian Santang. Meski dua tokoh utama dalam sejarah berdirinya kesultanan Cirebon adalah Anak anak Prabu Siliwangi dari Subang Larang. Mereka adalah Pangeran Cakrabuana dan Putri Rara Santang. Bisa jadi hal ini yang kemudian memunculkan dugaan atau teori yang menganggap bahwa Kian Santang sesungguhnya adalah Pangeran Cakrabuana sendiri.

Ayah dan Bunda biasanya hanya akan mengizinkan anak anaknya meninggalkan rumah untuk melanjutkan pembelajaran setelah mencapai usia dewasa. Perjalanan Pangeran Cakrabuana sampai ahirnya tinggal bersama kakeknya di Cirebon pun pada awalnya dijalani sendirian sampai kemudian adik perempuannya, Rara Santang menyusulnya. Cukup masuk akal bila saat itu Kian Santang yang masih belum mencapai usia dewasa tidak pergi bersama dua kakaknya, tapi masih tinggal di keraton Pajajaran bersama orang tuanya.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa Raden Kian Santang adalah Pangeran Cakrabuana. Bilalah demikian adanya maka yang memulai berdirinya kesultanan Cirebon adalah Kian Santang, termasuk yang mendirikan kraton Pakungwati, lalu menikahkan putrinya dengan Syarif Hidatullah. Dan tentu saja berarti Kian Santang adalah juga mertua Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati ?.

Pernyataan itu sama sekali bertolak belakang dengan sejarah kesultanan cirebon. Cikal bakal kesultanan Cirebon dimulai oleh Pangeran Cakrabuana yang ditunjuk oleh ayahnya sendiri (Prabu Siliwangi) untuk menjadi penguasa disana sebagai bagian dari Pajajaran. Bermodalkan harta dari Kakeknya dari pihak Ibu beliau membangun kraton Pakungwati yang namanya diambil dari nama putrinya.

Pangeran Cakrabuana ke tanah arab bersama adik perempuannya (Rara Santang) tinggal di kediaman kerabat dari kakek-nya. Melaksanakan ibadah haji dan menetap cukup lama disana untuk belajar Islam, baru kemudian pulang ke tanah Jawa tanpa ditemani oleh Rara Santang yang sudah menikah di tanah Arab.

Intinya adalah bahwa Pangeran Cakrabuana berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji, menyempurnakan rukun Islam yang ke lima, maknanya beliau sudah muslim sebelum berangkat ke Arab. Beliau sudah “nyantri” di Cirebon memahami ajaran Islam cukup lama sebelum kemudian berangkat ke tanah suci. Tentang sejarah Islam di Cirebon Anda bisa menelusuri lebih jauh tentang Syech Datuk Kahfi atau varian nama lainnya.

Bandingkan dengan sejarah Kian Santang yang mainstream menyebutkan bahwa beliau berangkat ke tanah Arab untuk menemukan lawan tanding yang mampu mengalahkannya, yakni orang yang bernama “Sayyidina Ali”. Sampai kemudian memeluk agama Islam, maknanya bahwa, berdasarkan kisah tutur tersebut, Kian Santang berangkat ke tanah Arab sebelum menjadi muslim. Disebutkan bahwa, beliau justru mulai memeluk Islam di tanah Arab setelah kalah telak kesaktiannya dengan orang yang dikenal dengan nama “Sayyidina Ali”.

Kian Santang kembali ke tanah air berusaha meng-Islamkan ayahandanya namun gagal dan kembali lagi ke tanah suci untuk belajar dalam kurun waktu yang cukup lama. Setelah cukup menimba ilmu di tanah suci beliau kembali ke Pajajaran, melanjutkan upaya meng-islamkan ayahandanya.

Sedangkan Pangeran Cakrabuana kembali ke tanah Jawa dari tanah arab, melanjutkan pengembangan dakwah, membuka wilayah baru, membangun keraton, menjalankan roda pemerintahan di wilayah yang kini disebut Cirebon, sebagai bagian dari kerajaan Pajajaran. Cirebon merupakan salah satu gerbang laut utama bagi Kerajaan Pajajaran selain Banten dan Sunda Kelapa. Dari alur cerita tutur yang beredar pun sangat jelas bahwa Kian Santang dan Pangeran Cakrabuana adalah dua sosok yang berbeda.

Teori atau pendapat lain bahkan menyebutkan bahwa sesungguhnya sosok Kian Santang itu tidak pernah ada. Kisah Kian Santang sendiri adalah sebuah kisah karangan yang dituturkan oleh Pangeran Cakrabuana dalam dakwahnya dengan metoda berdakwah melalui cerita atau mendongeng. Bahwa kisah Kian Santang yang dituturkan itu diambil dari salah satu buku yang tersimpan di perpustakaan kerajaan Pajajaran. Pangeran Cakrabuana memetik kisah itu menjadi bahan dakwahnya karena memiliki alur cerita yang mirip dengan perjalanan hidupnya sendiri.

Konon, buku tersebut mengisahkan tentang Pangeran Gagak Lumayung putra mahkota kerajaan Tarumanegara, anak dari Prabu Purnawarman, di sekitar tahun 450 masehi. Nama Ki An San Tang (Sang Penakluk Bangsa Tan) merupakan gelar kehormatan bagi Gagak Lumayung yang berhasil mengalahkan pasukan bangsa Tan yang kala itu menyerbu ke Taruma Negara. Dan menurut pendapat ini, sosok Kian Santang yang selama ini kisahnya dituturkan adalah sosok pangeran Gagak Lumayung tersebut. Pendapat ini agak sulit untuk diterima karena Pangeran Gagak Lumayung yang dimaksud justru hidup di masa sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW, Sehingga dengan sendirinya pendapat yang menyatakan bahwa Kian Santang Adalah cerita dongeng yang dituturkan oleh Pengeran Cakrabuana dari Kisah perjalanan Ki An San Tan alias Gagak Lumayung dari era Tarumanegara, gugur dengan sendirinya.

Kian Santang Bertarung dengan Ayahnya Sendiri?

“Adu kesaktian” dengan berbagai alur cerita antara Kian Santang melawan ayahnya sendiri (Prabu Siliwangi) sangat melekat dengan sosok Kian Santang, dan akhir dari ‘pertarungan’ itu adalah di sebuah gua di Leuweung (Hutan) Sancang (di Pameungpeuk, Kabupaten Garut). Ada banyak versi tentang ahir dari bagian ini, namun memiliki garis merah yang sama yakni; Prabu Siliwangi “Moksa” di Leuweung Sancang.

Bila saja kisah tersebut benar adanya, Itu bermakna Prabu Siliwangi moksa dua kali. Karena kemudian ada kisah tutur yang menyebutkan bahwa moksanya Prabu Siliwangi karena ke-engganannya mengikuti ajakan Syarif Hidayatullah untuk (Kembali) ber-Islam. Antara usia Kian Santang dan Syarif Hidayatullah (antara paman dan keponakan) terpaut dua puluhan tahunan, atau dalam bahasa sederhananya pada saat Syarif Hidayatullah baru lahir di tanah arab, Kian Santang sudah sakti di tanah Jawa.

Bila Prabu Siliwangi sudah di “moksa’ kan oleh Kian Santang di Leweung Sancang dan sudah tidak lagi hidup di alam dunia ini dan juga sudah tidak lagi menjadi Raja Pajajaran, bukankah mustahil sosok yang sama kemudian berhadapan dengan Syarif Hidayatullah lalu “moksa” demi menghindari pertarungan dengan cucunya sendiri.

Dalam "Wangsit Uga Siliwangi" dikatakan bahwa keturunnya akan menjadi pengingat mengingatkan saudara kalian dan orang lain, Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan semua yang baik hatinya :

"Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. Engké jaga, mun tengah peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang !"

artinya:

"Kalian yang di sebelah barat!".."Carilah oleh kalian Ki Santang !" "Sebab.."

"Nanti, keturunan kalian yang akan mengingatkan saudara kalian dan orang lain. Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan semua yang baik hatinya. Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung Halimun terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya. Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné. Jangan sampai berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir! Silahkan pergi!

"Ingat! Jangan menoleh kebelakang!"

Dalam artikel sebelumnya tentang Prabu Siliwangi, telah dijabarkan bahwa Prabu Siliwangi wafat secara wajar dan kemudian tahta Pajajaran diteruskan oleh Putra Mahkota, Prabu Surawisesa. Beliau yang kemudian menulis sebuah prasasti di tahun ke 12 sejak kematian ayahandanya. Prasati yang dikemudian hari dikenal sebagai Prasasti Batu Tulis. Pembuatan prasasti tersebut dilakukan di masa damai setelah ditandatanganinya perjanjian tapal batas dengan Kesultanan Cirebon, saat itu Pajajaran juga sudah kehilangan wilayah Banten dan Sunda Kelapa yang dikuasai Kesultanan Cirebon.

Maknanya bahwa, Baik Kian Santang maupun keponakannya (Syarif Hidayatullah), tidak pernah bertarung atau adu kesaktian dengan Prabu Siliwangi dalam upaya meng-islam-kan ataupun dalam upaya mengajak Prabu Siliwangi untuk kembali ke jalan Islam, dan berujung kepada moksa nya Sang Prabu dari alam dunia.

Menilik tiga pernikahan Prabu Siliwangi, kita akan mendapati kenyataan bahwa dua dari pernikahan beliau memiliki nuansa politik yang kental. Pernikahannya dengan Kentring Manik Mayang Sunda memberikan beliau legalitas sebagai pewaris kerajaan Sunda dari Prabu Susuktunggal. Kemudian pernikahannya dengan Ambet Kasih yang tak lain adalah putri dari Ki Gede Sindangkasih penguasa Sindangkasih (Majalengka), daerah yang “tak jauh dari” atau malah merupakan “ibukota” kerajaan Galuh yang membuka ruang baginya untuk memuluskan kekuasaan dari ayahandanya, Prabu Dewa Niskala.

Sedangkan perjumpaan beliau dengan Subang Larang, merupakan perjumpaan tanpa sengaja di ‘pesantren’ Syech Quro, yang justru terjadi dalam tugas beliau untuk membumihanguskan pondok Quro, tapi malah jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Subang Larang. Kekuatan apa yang mampu membuat pewaris tahta dua kerajaan sekaligus, mampu mengubah haluan hidupnya, selain kekuatan cinta.

Cinta nya kepada Subang Larang yang kemudian membawa beliau kepada Islam, demi memenuhi syarat yang diajukan oleh Subang Larang untuk menerima pinangan Prabu Siliwangi. Berislamnya Sang Prabu tidak diikuti dengan berislamnya Pajajaran secara keseluruhan kala itu, mengingat bahwa pernikahan terjadi pada saat Sang Prabu masih berstatus sebagai “putra mahkota”, dan kemungkinan akan menyulitkkan posisinya untuk menyatukan kembali dua kerajaan yang terpisah apabila terang terangan menyatakan keyakinannya yang sudah berbeda dengan khalayak ramai kala itu termasuk berbeda dengan anggota keluarga keraton Pajajaran lainnya.

Dari fakta sejarah tidak pernah ada serbuan dari pusat kerajaan Pajajaran ke daerah Cirebon meskipun saat itu Islam sudah berkembang pesat di masa Pangeran Cakrabuana berkuasa disana sebagai bawahan Pajajaran, bukahkah Prabu Siliwangi sendiri yang datang ke Cirebon dan mengesahkan Pangeran Cakrabuana, putra tertuanya dari Subang Larang sebagai penguasa Cirebon sebagai kerajaan bawahan Pajajaran. Sangat nyata bahwa beliau melakukan pembiaran bagi berkembangnya Islam di kerajaannya sendiri.

Suasana berubah drastis ketika Subang Larang wafat, Sang Prabu tenggelam dalam duka mendalam dan berkepanjangan, membuat beliau kehilangan sosok yang senantiasa mengingatkan beliau pada nilai nilai Islam, sedangkan dua anaknya (Cakrabuana dan Rara Santang) sudah tidak tinggal di Kraton Pajajaran. Hanya putra ke tiganya dari Subang Larang yakni Kian Santang yang masih tinggal di kraton Pajajaran. Maka wajar bila kemudian berkembang kisah tutur tentang pertarungan antara Kian Santang dengan ayahnya dalam upaya mengislamkan (kembali) sang Ayah. Yang paling mungkin terjadi adalah, Kian Santang memang berusaha ‘menasihati’ ayahandanya untuk tidak berlarut larut dalam kesedihan dan kembali pada ajaran Islam yang sebenarnya. Namun tentu saja tanpa sebuah pertarungan adu kesaktian dua pendekar pilih tanding sebagaimana yang sering disampaikan secara tutur tinular.

Pangeran Cakrabuana yang mempunyai nama asli Pangeran Walang Sungsang selama hidupnya memiliki dua orang istri. Dari kedua Istrinya itu kemudian beliau memperoleh keturunan sepuluh anak, yaitu delapan orang anak perempuan dan dua orang anak laki-laki. Adapun nama-nama putra putrinya adalah sebagai berikut:

1. Perkawinan Dengan Nyi Rasa Jati.
Nyi Rasa Jati merupakan puteri dari Syekh Jatiswara, beliau dikisahkan berasal dari Cempa sebab itulah orang Cirebon menyebutnya Syekh Jatiswara Cempa.
Dari perkawinan dengan Nyi Rasa Jati atau Nyi Gedeng Jati ini beliau dikaruniai tujuh anak, kesemuanya wanita. Adapun nama-namanya adalah sebagai berikut:

~ Nyi Lara Konda, di Alas Konde Gunung Jati
~ Nyi Lara Sejati, di Gunung Jati
~ Nyi Jati Merta, di Desa Jati Merta
~ Nyi Jemaras, di Desa Jemaras
~ Nyi Mertasinga, di Desa Mertasinga
~ Nyi Cempa, di Desa Dukuh, Karang Kendal
~ Nyi Rasamalasih, di Blok Sembung Astana Gunung Jati

2. Perkawinan Dengan Nyimas Kencana Larang.
Nyimas Kencana Larang atau yang mempunyai nama lain Nyi Mangunsari Ing Kamangunan adalah anak dari Kuwu Cirebon pertama, yaitu Ki Gede Alang-Alang, atau Bramacari Srimaana, seorang Syahbandar Pelabuhan Muara Jati.

Hasil perkawinan dengan Nyimas Kencana Larang ini, Pangeran Cakrabuana memperoleh satu puteri dan dua putera, yaitu :
(1) Nyi Dalem Pakungwati.
(2) Pangeran Kejaksan/Pangeran Pajebugan dikenal juga dengan nama Arya Mengger.
(3) Pangeran Pajarakan.

Sementara kisah beralih ke Raden Kian Santang saat Pergi Meninggalkan Tahta

Prasasti Banten mengindikasikan bahwa Prabu Siliwangi wafat dan dimakamkan di Rancamaya, bukan moksa di suatu tempat. Bila beliau moksa tentunya tidak akan ada prosesi pemakaman dan dua belas tahun kemudian makamnya di bongkar oleh Prabu Surawisesa untuk diperabukan bersamaan dengan pembuatan prasasti yang kini dikenal dengan prasasti Batu Tulis.

Kehilangan Ibunda sekaligus kehilangan ayahanda tercinta dan bukan pula sebagai pewaris utama tahta kerajaan tentunya cukup alasan bagi Kian Santang untuk hijrah kemanapun yang beliau inginkan. Sedangkan untuk berdakwah dilingkungan keraton yang masih kental dengan ajaran sebelumnya, termasuk juga masih dianut oleh Penerus Raja yang tak lain adalah Kakaknya sendiri meski berbeda ibu, hanya akan menimbulkan pertentangan dan pertikaian yang tidak semestinya terjadi.

Dapat difahami bila kemudian Kian Santang memilih untuk berdakwah di pedalaman Pajajaran, tidak pula di wilayah Cirebon yang sudah ditangani oleh kakaknya dan dikemudian hari dilanjutkan oleh Syarif Hidayatullah yang tak lain adalah keponakannya sendiri. Dan sebagai putra raja wajar pula bila beliau melakukan perjalanan ditemani oleh pengawal dan orang orang kepercayaan dengan bekal yang cukup pula untuk memulai sebuah kehidupan baru. Seberapapun perbedaan pandangan hidup antara Kian Santang dengan Surawisesa namun bagaimanapun mereka adalah saudara seayah. Surawisesa selaku penerus tahta tidak mungkin membiarkan adiknya pergi begitu saja meninggalkan istana tanpa bekal apapun.

Pada usia 22 tahun Prabu Kiansantang diangkat menjadi Dalem Bogor ke 2 yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Prabu Munding Kawati, putra Sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Guna mengenang peristiwa sakral penobatan dan penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka ditulislah oleh Prabu Susuk Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai sekarang dengan nama Batu Tulis Bogor.

Peristiwa itu merupakan kejadian paling istimewa di lingkungan Keraton Pajajaran dan dapat diketahui oleh kita semua sebagai pewaris sejarah bangsa khususnya di Pasundan. Prabu Kiansantang merupakan sinatria yang gagah perkasa, tak ada yang bisa mengalahkan kegagahannya. Sejak kecil sampai dewasa yaitu usia 33 tahun, Prabu Kiansantang belum tahu darahnya sendiri dalam arti belum ada yang menandingi kegagahannya dan kesaktiannya di sejagat pulau Jawa.

Dikemudian hari beliau dikenal dengan nama
Prabu Kiansantang atau Raden Sangara atau Syeh Sunan Rohmat Suci.
Sunan Rohmat Suci diyakini wafat dan dikebumikan di tempat terakhir beliau berdakwah, yaitu di suatu tempat di daerah Garut yang kini dikenal dengan nama Makam Godog di Desa Lebak Agung, Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat.
Tidak hanya beliau yang bermakam disana tapi juga beberapa pengikut dan pengiring atau pengawal beliau. Komplek pemakaman yang ramai dikunjungi para peziarah dari berbagai penjuru tanah air.

Wallahu'alambhisshowab...